Masyarakat Adat Melakukan Penolakan Terhadap Penjualan Tanah Ulayat

Penjualan tanah adat yang terjadi di Dassang Kabupaten Sumba barat, Kecamatan Laboya Barat, Desa Harona Kalla Provinsi NTT. Awal permasalahan terjadi sejak tahun 2014 dimasa kepemimpinan Kepala desa Dorkas kaliweni, dimana mereka mengatas namai tanah tersebut untuk dijual, dimana pemerintah desa turut andil dalam penjualan tanah tersebut. Dan masyarakat adat telah melakukan blockade terhadap wilayah tersebut agar tidak dijual dan pemerintah telah menyetujui kalau lahan tersebut adalah wilayah adat. Sehingga yang berhasil terjual hanya sebidang tanah, yang beratas namai Ngara Kulla Bota Sehingga masyarakat itu sama-sama sepakat untuk tidak mengklaim lagi tanah yang ingin di jual kepada Mr. Antoni (pembeli lahan wilayah adat) jadi masyarat adat telah memilah mana yang menjadi hak masyarakat adat dan mana yang menjadi hak pembeli (Mr. Antonio) sehingga terjadi jual beli anatara Ngara Kulla Bota dan Mr. Antonio yang bersebelahan dengan wilayah adat. Setelah itu di tahun 2019 Para oknum atas nama Ngara Kulla Bota, Poro Lete Bange, Yunus R. Nanga ( Rehi Togo Gaba), Payo Nanga Tabe, Rawa Gala Bange, Dorkas Kalaweni, Pati Wole Bange dan Alm Honga Bulu memiliki inisiatif untuk menjual lahan lagi di area yang sudah di batasi Kepada Umbu S. Samapaty (Umbu Kupang).

Maka Daud Kedu Tagu selaku tokoh adat yang mendengar hal tersebut langsung menanyakannya kepada Camat Daud Eda Bora selaku Camat Laboya Barat untuk menanyakan kepastiannya dan memang benar ada yang mengajukan permohonan terkait pengukuran dan penjualan tanah dan juga surat tersebut sudah di ajukan ke kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sehingga Daud Kedu Tagu mengajukan surat pemberitahuan dan keberatan terhadap penjualan lahan wilayah adat tersebut kepada Bupati, kantor Setda, DPRD, Dinas Pertanahan dan Dinas Pariwisata pada tanggal 10 Juni 2019 dan diantarkan langsung oleh Daud Kedu Tagu tanpa perantara. Tapi sayangnya surat tersebut tidak direspon sama sekali malahan tetap terjadi pengukuran lahan yang akan dijual tersebut. Daud Kedu Tagu mengatakan saat itu bahwa dia sendiri belum mempuyai kekuatan dan keberanian untuk melawan hak lahan tersebut. Sehingga membuatnya menghadap langsung ke Badan Pertanahan Nasional  dengan membawa arsip surat yang sudah pernah iya kirimkan.

Dengan Tegas Daud K. Tagu Menyampaikan ”Jika pemerintah tetap tidak merespon surat tersebut itu sama dengan pemerintah secara tidak langsung mengajarkan untuk menjual tanah adat, jika memang demikian saya meminta pertanyaannya bahwa pemerintahan melegalkan penjualan tanah adat agar Masyarakat adat dapat ramai-ramai mejual tanah adat. Tapi jika tugas pemerintah memang ingin menjaga dan melindungi tanah adat tolong buktikan itu.” dan Daud menekankan lagi agar pemerintah menolak dan membatalakan sertifikat tanah yang di ajukan oleh oknum yang ingin menjual tanah adat tersebut. Setelah itu Pemerintah baru menurunkan Kepala Bidang Pengukuran dan Kepala Bidang Penerbitan Sertifikat untuk membatalkan aksi jual beli tersebut.

Pada tahun 2023 Mereka sudah melakukan pelaporan untuk pihak Kepolisian tapi sama sekali belum direspon oleh pihak berwajib

Menjadi memanas pasalnya penjualan ini terjadi di tempat masyarakat adat melakukan ritual-ritual adat.

Upaya penolakan penjualan lahan tersebut dilakukan dengan cara pemagaran atau blockade menggunakan pagar biasa, aksi ini di warnai dengan kejar-kejaran antara penolak dan oknum yang menjual, tapi untungnya kericuhan tersebut dapat diredahkan oleh pihak keamanan. Pihak keamanan juga berjanji untuk memfasilitasi terkait dengan masalah penjualan lahan untuk mendapat titik terang, tapi sampai sekarang belum ada tindak lanjut dari pemerintah maupun pihak keamanan terkait hal yang di janjikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *